Malam itu, aku dihadapkan oleh kenyataan pahit bahwa diriku sedang berada dalam titik terendah di hidupku. Kehilangan arah, menyalahkan diri sendiri, menyalahkan orang lain, dan paling ekstrem nya, sampai menyalahkan 'takdir Tuhan'. Ya, sekacau itu memang. Bahkan aku pun tidak mengenali diriku sendiri kala itu. Bisa disebut.. Aku berada dalam masa kegelapan dan hilang arah.
Segala pertanyaan menghujam pikiranku yang tidak tahu apa-apa, seolah selama ini ia hanya sekedar menuruti titah nuraniku dan tidak pernah diizinkan hadir untuk sekedar didengar. Selama ini pun, hidup tanpa merasa pernah didengar bagaimana rasanya? Kamu hanya berperan sebagai pendengar, tanpa pernah dilibatkan. Mungkin itulah cerminanku dalam memperlakukan diriku sendiri, sehingga jarang sekali aku ikut melibatkan akal dan pikiran untuk sekedar berfikir. Aku terlalu kalut dengan lebih mendengarkan hati. Walaupun feeling tentang hati nuraniku tidak pernah salah, dan terkadang jauh lebih tepat daripada dugaanku sendiri, tapi di beberapa keadaan tertentu, aku sangat payah untuk membedakan kapan saatnya aku berpikir dengan akal dan kapan saatnya aku pernah mendengar. Tak ingin membela satu pihak, bagaimanapun aku tahu sebagai wanita memang ia diberi kelebihan memiliki kepekaan lebih akurat tentang feelingnya, namun ujiannya juga disertakan di satu hal yang sama, yakni perasaan.
Memasuki usia remaja dewasa, aku mulai mengenal bagaimana rasanya aku mencintai orang, bagaimana rasanya dikecewakan, menerima penghianatan, menerima hinaan, dan tanpa disadari juga ternyata diriku bisa menjadi sebab seseorang merasa kecewa dan patah karena penolakan dariku, perasaan yang tak ingin kubalas, atau karakter pribadiku yang tidak sesuai dengan ekspektasi orang terhadapku.
Sebenarnya, mengapa aku membahas ini? Karena diriku yang menulis pengalamanku saat ini sudah benar-benar sembuh dan secure dengan diriku sendiri. Yang mungkin akan aku bahas pada tulisan selanjutnya. Aku tidak akan mampu menguraikan kata demi kata dengan baik jika belum bisa menarik benang merah dari pelajaran hidup yang telah ku lalui. Walaupun rasanya, aku seperti hidup sangat lama hingga berani menyebutya 'pelajaran', tapi itu akan tetap kusebut karena aku diciptakan Tuhan untuk hidup agar bisa mengerti tujuan dan mendapatkan pelajaran di dalamnya bukan?
Setelah kusadari, sebab kacaunya diriku di awal usia 20an (yaitu tahun 2024 lalu) ternyata dipicu karena komplikasi masalah internal pribadi keluargaku dan masalah eksternal dari lingkunganku. Dimana aku merasa tidak benar-benar memiliki "rumah" ketika aku pulang dirumah dengan keluarga, karena setiap aku membuka pintu, seringkali aku hanya mendengar ruangan yang hampa dan kesuraman, serta orang tua yang tidak cukup akur kala itu, aku hanya mendengar suara menggema tentang teriakan, tangis, dan luapan-luapan emosi yang saling menyalahkan satu sama lain. Sebagai anak pertama, dan bingung harus berbuat apa, aku hanya memikirkan adik ku, "Apakah dia tidak apa-apa? Apakah dia merasa sakit sama halnya yang sedang kurasakan?" Kuharap dia belum cukup mengerti untuk memahami ini. Lagi-lagi aku hanya diam, bersuara pun enggan, karena sudah pasti tidak akan didengar dan berpengaruh apa-apa. Padahal dibalik itu semua, aku berusaha mati-matian untuk tidak membiarkan sinarku redup. Ya, dengan berusaha tegar sekuat dan semampu yang aku bisa. Karena menyalahkan keadaanku yang miskin pun juga tak ada gunanya, satu hal yang membuatku merasa akan sedikit berguna kala itu adalah.. aku harus berjuang. Saat itu aku hanya membenci uang, alias faktor ekonomi, yang membuat semua menjadi kacau. Satu hal yang ku sadari bahwa, peribahasa tentang "Miskin asal keluarga bahagia jauh lebih baik daripada memiliki harta tapi keluarga retak" lalu bagaimana tentang kondisiku dulu? Aku miskin tetapi juga retak. Untuk merasa sekedar tidak haus pun aku meminum air keran di sekolah tanpa sepengetahuan orang. Bahkan untuk melanjutkan kuliah pun rasanya mustahil.
Faktor eksternal pun timbul menjadi sebab diriku menjadi kacau kala itu, disaat aku mengenal yang namanya jatuh cinta. Dan saat ini dua kata itu adalah kalimat yang palig aku sesali karena sudah menjatuhkan cintaku untuk orang yang tidak seharusnya ku beri cinta. Bukan karena aku sudah baik, kaya, dan cantik, bukan. Melainkan karena aku telah berani mencintai di waktu yang sama-sama tidak tepat. Jika ditarik jauh kebelakang, dulu aku tidak menggunakan otakku sama sekali untuk berpikir seperti sekarang, karena aku sudah buta akan cinta, sehingga kalah oleh perasaan. Merasakan kenyamanan yang tidak aku dapatkan ketika dirumah, adalah salah satu faktor kenapa aku mudah untuk terbawa oleh perasaan. Diriku yang terbiasa mandiri, tidak pernah bercerita, dan tidak pernah menerima pemberian kecil dari orang tua, membuatku semakin mudah untuk takluk akan bare minimum manusia yang semua jenis kelamin pun wajar jika melakukannya, seperti memberikan bantuan, perhatian, dan menjadi pendengar yang baik. Hanya saja kala itu, aku kebetulan saja diperlakukan baik oleh sosok laki-laki, entah karena dia begitu baik padaku karena memang dia menyukaiku, atau karena memang tabiatnya baik kepada siapapun, atau hanya karena kasihan dengan kondisiku. Aku pun terlalu berharap lebih, sehingga aku sendiri yang merasa sakit. Tidak ingin menyalahkan siapapun saat ini, karena semua memiliki alasan logis yang dapat diterima. Hal terpentingnya adalah aku pada akhirnya bisa belajar dari pengalaman hidupku itu.
Dan ya, masa kelam yang kulewati ini mungkin tidak sama dengan tiap masing-masing orang. Kala itu, aku benar-benar menyalahkan keadaan karena aku merasa gagal dikedua hal diatas yang menurutku memiliki tempat tersendiri untuk alasanku bisa bahagia. Tidak ada satu haripun yang kulewati selain pertanyaan "Mengapa dan kenapa". Diriku saat itu terlalu gegabah, dan belum dapat berfikir jernih, menjadi faktor utama sebab kehancuranku sendiri. Setelah kurasa cukup untuk menerima semua kecewa itu, aku perlahan bercerita kepada sosok sahabat yang selalu menjadi obat untuk sekedar membuatku tertawa, walaupun bukan obat untuk sembuh. Karena menyembuhkan semua ini, adalah dengan menerima semua rasa sakit dan melakukan sesuatu yang lebih melelahkan.
Sadar bahwa aku sudah cukup lama kehilangan diri sendiri, dan selalu menggantungkan bahagiaku dengan orang lain, aku berusaha untuk bertanya pada diri sendiri,
"Kenapa kamu dulu begitu bodoh dalam mengambil keputusan?"
-Karena ternyata.. aku tidak cukup melibatkan diriku untuk sekedar didengar, sehingga aku hanya menuruti perasaan yang tidak dapat diukur kevalidannya. Aku musti melibatkan akal agar semua bisa dipertimbangkan terlebih dahulu
Pastinya, itu tidak semudah yang dilihat,bahkan aku perlu menekan ego ku sendiri hanya untuk sekedar akur dengan isi pikiran sebelum membuat keputusan. Dan itu diperlukan awal yang tidak enak, hati yang sungkan, perasaan yang mengganjal, sebelum akhirnya terbiasa.
Dan saat ini aku benar-benar sadar, mengapa secure dengan diri sendiri itu adalah penting. Setelah sadar dan sembuh akan hal ini, aku hanya membatin 'Aku berdaya tanpa harus menggantungkan kebahagiaanku pada siapapun, terlebih pada lelaki yang kedatangannya tidak jelas akan arah dan tujuan. Aku mengutamakan diriku dan keluargaku lebih dulu sebelum benar-benar memberikan cintaku kepada lelaki. Akan kupastikan bahwa cintaku tidak boleh mati kekeringan lagi, dan yang kubutuhkan adalah lelaki yang sama-sama sudah secure dengan dirinya sendiri, keluarga dan masalalunya, sehingga ketika menabur cinta, ia akan dirawat bersama untuk tetap mekar.
Dan ya, lambat laun, perjuangan sembuh yang tak mudah itu, pada akhirnya Allah memberikan jawaban atas doa doa panjangku yang dilangitkan bertahun-tahun silam. Setelah melewati fase krisis identitas akibat percintaan, aku benar-benar disembuhkan oleh Yang Maha Kuasa secara langsung. Rezeki datang dari arah yang tidak kuduga-duga, dengan melihat kedua orangtua ku kembali akur, ekonomi keluarga yang kian membaik, dan kekosongan tangki cinta yang lama tidak terpenuhi oleh keluarga sendiri kini kian terisi penug, aku merasa bahagia. Bahagiaku kali ini tidak lagi merasa gundah dan takut kehilangan, karena setelah kusadari, seburuk-buruknya diriku, orangtuaku lah yang tidak akan pernah pergi begitu saja. Aku tak lagi merasa takut ditinggal oleh siapapun, karena aku telah mengerti nilai diriku sendiri bahwa aku akan tetap sama bernilainya dengan ada atau tidak adanya seseorang di hidupku. Aku telah kembali menemukan fokus dan semangat hidupku dengan melihat bahagianya orang tuaku, tetap masih dalam kesederhanaan, akan tetapi dengan perasaan yang jauh berbeda. Kini aku bahagia. Dan akan tetap bahagia atas garis yang sudah Allah tetapkan. Dengan terus memperbaiki diri, bersyukur, dan selalu berusaha.
No comments:
Post a Comment